Malam bulan tua itu semakin larut. Melalui cahaya bintang yang
bertaburan, di langit hitam, tanah Hastinapura masih menampakkan
kesuburannya. Bagi kawula yang pada umunnya bekerja di siang hari, malam
itu bagaikan selimut tebal yang memberi kenyamanan untuk terlelap dalam
tidur, agar esok pagi dapat bekerja kembali dengan pikiran yang jernih
dan badan yang segar. Namun, tidak demikian bagi mereka yang mempunyai
tugas dan kewajiban pada malam hari, terlebih bagi para petugas jaga,
baik yang berada di pelosok desa maupun yang berada di pusat kota-raja.
Bagi mereka, malam adalah bayangan misterius yang harus diwaspadai,
karena dia dapat dengan tiba-tiba menampakkan wujudnya yang sangat
mengerikan. Untuk menjaga agar malam berlalu dengan selamat, sesekali
mereka melantunkan mantra kidungan; Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh
ayu luputa ing lara, luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun,
paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala, gunane wong luput, geni
atemahan tirta, maling adoh tan wani perak mring mami, tuju duduk pan
sirna
Sementara itu, di bawah cahaya lampu minyak yang ditempatkan di depan
gerbang cepuri kraton, tampaklah seorang setengah baya, mukanya hitam
dan kakinya pincang, berjalan diapit oleh dua orang punggawa raja.
Mereka melangkah memasuki pintu cepuri, menuju sebuah ruangan.
“Kakanda Destarastra”
“O, adinda Yamawidura, engkau sudah datang. Mendengar suaramu, hatiku yang gelisah menjadi pasrah.”
“Terimakasih Kakanda Prabu, aku merasa sangat berarti di hadapanmu.”
“Sungguh, engkau sangat berarti adikku, tidak hanya untukku, tetapi juga bagi Negara Hastinapura.”
“Janganlah membuatku seorang sudra ini menjadi semakin kecil dan kerdil,
karena pujian Kakanda Prabu, seorang raja besar Hastinapura.”
“Memang benar, engkau lahir dari ibunda Rara Katri dari kalangan sudra,
namun darah sudra tidak nampak dalam pribadimu. Pengamatanmu tajam dan
waskitha, wawasanmu luas, engkau laksana seorang Brahmana. Oleh
karenanya, malam ini aku memanggilmu agar engkau menyuarakan kebenaran
di tengah-tengah kegelisahan hatiku.”
“Kegelisahan apakah yang membuat Kakanda Prabu gundah?”
“Anak-anakku menginginkan tahta Hastinapura.”
“O kakanda, kegelisahan itu tidak hanya milik Kakanda Prabu, tetapi
milik seluruh rakyat Hastina. Aku khawatir firasatku menjadi kenyataan”
“Engkau mempunyai firasat apa, Yamawidura?”
“Perang saudara kakanda”
Destarastra terkesiap, matanya yang buta menerawang jauh ke masa depan,
yang penuh dengan konflik untuk memperebutkan tahta Hastinapura. Apa
yang diucapkan adiknya tergambar jelas di benaknya. Dan tanda-tanda ke
arah perang saudara sudah mulai tampak. Semenjak meninggalnya
Pandudewanata seratus anaknya, atau para Kurawa mendesak Destarastra,
agar Duryudana, sebagai saudara sulung Kurawa, diangkat menjadi pangeran
pati untuk disiapkan menjadi raja Hastinapura.
“Yamawidura, dapatkah perang saudara dihindarkan?”
“Tentu saja dapat, bergantung Kakanda Prabu”
“Apa yang harus aku perbuat?”
“Kakanda prabu sudah mempunyai jawabannya, di dalam lubuk hati yang paling dalam.”
Malam merambat perlahan. Sepeninggalnya Yamawidura, Dewi Gendari menghampiri Destarastra.
“Kanda Prabu, malam menjelang akhir, tidurlah, banyak tugas menanti di esok hari.”
“Permaisuriku, bagiku malam dan pagi tidak ada bedanya, yang membedakan
adalah perasaanku. Aku ingin menikmati malam ini sepuasnya. Sepanjang
hidup belum pernah aku mengalami perasaan seperti malam ini.”
“Kanda Prabu, jika demikian, tentunya malam ini menjadi malam yang
sangat khusus dan istimewa, karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Untuk itu ijinkanlah aku ikut menikmati keistimewaan malam ini bersama
kakanda prabu, satu-satunya laki-laki paling istimewa di seluruh bumi
Hastinapura.”
“Engkau memang selalu ada bersamaku Gendari. Tak terkecuali untuk malam ini. Malam yang paling menggelisahkan.”
“Jika diperkenankan, bolehkah saya mengetahui tentang kegelisahan itu”
“Peri hal permintaan anak-anak kita”
“Mohon maaf Kanda Prabu, masih ingatkah ucapan kanda prabu, ketika anak kita berada dalam rahimku.”
“Ya, aku ingat, aku akan memberikan sesuatu yang terbaik bagi anak-anak kita.”
“Kanda Prabu, sesuatu yang terbaik memang pantas diberikan untuk anak
kita. Maafkan kanda prabu, bukankah permintaan anak-anak kita adalah
sesuatu yang terbaik? Menjadi raja, berkuasa di sebuah negara besar
Hastinapura.”
“Namun bagaimanapun juga, mengangkat Duryudana menjadi raja adalah
salah. Bukankah tahta Hastinapura adalah titipan dari Prabu
Pandudewanata. Jika sekarang adinda Pandu wafat, tentunya hak atas tahta
Hastinapura berada di tangan anak-anak Pandu, yaitu para Pandawa. Apa
jadinya kalau kita memaksakan kehendak? Tentu para Pandawa akan menuntut
haknya sehingga terjadilah perang saudara seperti yang dikatakan
Yamawidura.”
“Negara Hastina adalah titipan, itu benar kakanda. Namun bukan dari
Pandu semata, melainkan dari para pendahulu, termasuk juga rakyat
Hastinapura. Ampun Kanda Prabu, sesungguhnya kita semua berhak untuk
mengatur, menjaga, memelihara dan mengembangkan Negara Hastina demi
kemakmuran rakyat. Jika anak-anak kita mampu untuk menjalankan tugas itu
serta membawa kejayaan negeri ini di mata dunia, mengapa tidak kita
beri kesempatan.?”
“Tetapi bagaimanapun juga, kata-kata Adinda Yamawidura tentang perang saudara sangat menggelisahkan.”
“Kita orang lemah Kanda Prabu. Jangan paksakan menyangga kegelisahan ini
sendirian! Aku senantiasa ada di sampingmu. Kanda Prabu, kita nikmati
bersama kegelisahan ini, pasrahkan kepada Hyang Maha Agung, maka akan
ringanlah jadinya.”
Kata-kata yang diucapkan Gendari mengalir lembut bak selendang bidadari
mengusap dadanya yang sesak karena kegelisahan. Sejenak Destarastra
melupakan kegelisahannya. Diciumnya kening Gendari yang kuning bercahaya
dengan penuh kasih cinta. Dan Gendari pun menyambut dengan pelukan
mesra. Keduanya perlahan rebah di tilamsari nan indah. Sisa malam itu
menjadi milik mereka berdua. Sementara itu, sayup-sayup terdengar dari
kejauhan mantra kidungan: Ana kidung rumeksa ing wengi .... Dan malam
pun berlalu dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar